Psikologi Kuantitatif

Psikologi Kuantitatif pin Blackberry: 25CEB95C. no plagiat /tidak penjiplakan, +62858-6852-2112 WhatsApp (Mentari) & 0821.36 668777 (Simp), +62877-3938-3777 (XL). PIN bb: 263BB77C, Pengembangan dan Konsultasi Pengolahan Data Penelitian; Olah Data Skripsi - Tesis & Disertasi. Semua jurusan. Jaminan GARANSI sampai LULUS ACC & bimbingan sampai Wisuda. CEPAT Professional.

Waktu Pekerjaan 7 - 10 Hari.

via Online dan via email
Bagi yang sibuk, konsultasi bisa dilakukan via email, WhatsApp, Yahoo Messenger dan Skype, FaceBook, Twitter, dan BB ataupun telpon/sms Telkom, Telkomsel, Indosat, XL.

Tatap Muka /Langsung Ketemu
Kosultasi dengan tatap muka bisa dilakukan di kantor.

Hubungi Kami Free
WhatsApp +62858-6852-2112 (Mentari) & +62821-3666-8777 (simPATI)
Pin Blackberry: 25CEB95C dan 263BB77C.
YM: b897097, dan o8151645690.


Tidak semua informasi statistik yang kita jumpai dapat diuji dengan penuh keyakinan seperti dalam analisis kimia atau di laboratorium pengujian. Tetapi kita dapat memerasnya keluar dengan lima pertanyaan sederhana di bawah ini. Jika kita bisa menemukan jawabannya, maka kita akan terhindar dari banyak sekali hal yang tidak bisa diuji.

1.      Siapakah yang mengatakan demikian?

Carilah bias yang dilakukan secara sadar. Salah satu cara menimbulkan bias adalah dengan mengeluarkan pernyataan yang jelas-jelas menyesatkan atau meragukan, yang juga berguna dan tidak dapat disalahkan.

Cara lain bisa dengan memilih data yang menguntungkan dan menghilangkan yang merugikan. Satuan pengukuran mungkin digeser, seperti dalam praktek menggunakan tahun tertentu sebagai pembanding dan beralih ke tahun yang lebih menguntungkan untuk pembanding yang lain. Bisa juga dengan menggunakan ukuran yang tidak sesuai, seperti menggunakan mean padahal median lebih informatif, dengan tipudaya yang ditutupi kata “rata-rata” tanpa keterangan apapun.

2.      Bagaimana ia tahu?

Waspadalah terhadap bukti-bukti yang diambil berdasarkan sampel bias, yang tidak dipilih dengan benar atau dipilih sendiri. Ajukan pertanyaan apakah sampel itu cukup besar sehingga memungkinkan untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat dipercaya?

Begitu juga dengan laporan mengenai suatu korelasi: apakah hubungan itu cukup kuat sehingga bermakna? Apakah kasus yang tersedia cukup untuk menunjukkan derajat signifikansi tertentu? Apabila hanya membaca sepintas lalu, kita tidak dapat memakai uji signifikansi ataupun menarik kesimpulan dengan benar apakah sampelnya cukup atau tidak. Walaupun demikian, dengan melihat sekilas atau mungkin sedikit lebih lama pada berbagai laporan, kita dapat mengatakan bahwa kasus yang diteliti sangat tidak mencukupi untuk meyakinkan siapapun yang berakal sehat.

3.      Apa yang kurang?

Waspadalah terhadap rata-rata apapun yang tidak dijelaskan jenisnya, apabila mean diduga berbeda jauh dari median.

Banyak angka statistic tidak bermakna karena si penyusun keliru membandingkan. Sehubungan dengan sentiment anti kulit kuning, suatu artikel di majalah Look mengatakan, “Suatu penyelidikan menunjukkan bahwa dari 2.800 kasus, lebih dari separuh ibu-ibu yang menjadi korban berusia 35 tahun atau lebih”. Untuk mengerti pentingnya penelitian itu kita perlu mengetahui usia kebanyakan perempuan melahirkan bayi. Sayangnya, sedikit di antara kita yang mengetahui hal-hal seperti itu.

4.      Apakah seseorang mengubah pokok persoalannya?

Ketika memeriksa suatu angka statistic, waspadalah terhadap peralihan yang terjadi di antara data mentah dan kesimpulan. Yang satu sangat sering dilaporkan sebagai yang lain.

Semakin banyak laporan tentang suatu kasus tidak selalu berarti kasus tersebut bertambah banyak. Kemenangan seorang kandidat dalam pemungutan suara tidak resmi tidak selalu dapat dipakai meramalkan hasil pemungutan suara. Preferensi yang dinyatakan oleh “seluruh lapisan” pembaca suatu majalah terhadap rubric Ulasan Peristiwa Dunia bukanlah jaminan artikel semacam akan dibaca oleh pelanggan jika dimuat.

5.      Masuk akalkah itu?

Pertanyaan “masuk akalkah itu?” seringkali membuka kedok statistic menakala segala bualan itu disusun berdasarkan asumsi yag rapuh. Rumus keterbacaan Rudolf Flesch menimbang seberapa mudah suatu karangan dibaca, dengan beberapa criteria yang sederhana dan terukur seperti panjang kata dan kalimat. Seperti semua alat yang berusaha mengangkakan factor-faktor yang tak dapat dihitung dan menggantinya dengan ilmu hitung untuk penilaian, gagasan ini sungguh menarik. Setidaknya ini menarik bagi orang-orang yang berhubungan dengna penulis, seperti penerbit suratkabar, sekalipun tidak untuk menilai penulis mereka sendiri. Asumsi rumus tersebut adalah panjang kalimat menentukan keterbacaan suatu naskah. Hal ini, biar bagaimanapun, masih harus dibuktikan.

 

Referensi: Huff, Darrel. 2002. Berbohong dengan Statistik. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

No comments:

Post a Comment